Dalam realitas kehidupan, arus
globalisasi dan modernisasi tidak dapat terelakkan di berbagai aspek kehidupan,
mahasiswa dalam konteks ini seharusnya mampu memposisikan dengan mempersiapkan
diri yang ditujukan dalam upaya menjawab tantangan jaman. Akan tetapi mahasiswa
dalam konteks kekinian, dihadapkan pada suatu kondisi yang tidak lagi bertumpu
pada nilai-nilai luhur pendidikan atau (three dharama perguruan tinggi).
Mahasiswa sekamin liar terhadap apa yang terjadi dengan kondisi
sekitarnya, apatis, kira-kira begitu. Orientasi pendidikan hanyalah untuk
medapatkan posisi strategis dalam dimensi masyarakat atau birokrasi, tanpa
memperdulikan aspek-aspek yang tentunya harus dipenuhi selayaknya insan yang
sedang menuntut ilmu. Usaha untuk mengisi kemerdekaan dengan mencerdaskan
setiap anak bangsapun, bukan hal yang urgen lagi dalam konteks kekinian, negara
sepertinya sudah lepastangan dan tak mampu memberi alternatif terhadap kondisi
tersebut, terlebih terhadap mahasiswa yang mengalami disorientasi dalam
hidupnya. Pandangan hidup yang hanya memandang bahwa kampus adalah media atau
wahana untuk mendapatkan gelar tanpa di tunjang dengan kemampuan yang melekat
pada diri setiap mahasiswa merupakan hal yang terjadi dewasa ini.
Bagaimana mungkin pendidkan akan berjalan selakyaknya pendidikan yang ideal,
sedangkan paradigma yang dibangunkan dalam setiap pribadi mahasiswa adalah
aktif (absensi), cepat lulus, tanpa dibekali dengan
skill yang tepat,
sedangkan mahasiswa yang “diusir” dari kampus dalam artian di intervensi agar
cepat lulus tanpa ada jaminan terhadap apa yang digelutinya. Karena itu
kemudian dibangunlah paradigma baru bahwa mahasiswa harus melihat aspek lain
yaitu enterprenersip. Padahal enterprenersip atau wira-usaha tanpa kuliahpun
bisa dilakukan, memang ada perbedaan ketika seseorang itu kuliah dan tidak
kuliah tetapi tidak jauh berbeda. Kondisi tersebut diperparah dengan orientasi
mahasiswa yang hanya berpegangan dalam prinsip hidup “hidup ideal”. Maksudnya
adalah, bahwa kuliah tiga setengah tahun atau maksimal empat tahun, kemudian
lulus dan menjadi PNS, nikah, memiliki buah hati, dan mati. Inilah paradigma
sebagian besar kalangan mahasiswa ke kinian. Bukankah masa depan bangsa dapat
dilihat dari kondisi pemuda saat ini. Dengan demikian pemuda atau mahasiswa
memiliki peran strategis, karena itu memhamai karakteristik dan dinamika pemuda
atau mahasiswa menjadi penting. Dengan begitu maka kita akan mampu
mengoptimalisasikan potensi dan peran strategis mahasiswa serta melindunginya
dari potensi-potensi yang akan meruskannya. Tapi apakah masih relevan
ketika pemuda adalah pemegang estafet kepemimpinan bangsa dan yang akan membawa
bangsa dan negara ini ke arah lebih baik, ataukah mahasiswa atau pemuda adalah
sumber permasalahan yang dapat menghambat kemajuan bangsa, karena sikap, nilai
dan pandangan hidupnya tersebut?.
Di kalangan mahasiswa bahwa
kampus atau dunia mahasiswa (pemuda yang dianggap sudah mulai matang dalam
tahapan intelektualnya) yang sebagian besar sudah mengalami disorientasi
paradigma yaitu hanya memahami dari segi formalitas atau simbol-simbol yang
digunakan dalam akitifasnya saja, bukan hakekat dari pendidikan yang dienyam
dalam dunia kampus tersebut. Sehingga outputnya-pun akan berbeda dengan
mahasiswa tempo dulu yang matang dalam gagasan dan kritis terhadap perubahan.
Karena secara subyektif bisa dikatan bahwa kampus bukan melahirkan SDM yang
unggul, karena tidak ada penepaan secara serius dalam dunia kampus, yang
penting bayar beres, kira-kira begitu. Lantas apa yang harus dibenhai? Sistem
pendidikan yang sudah tercengkram neolibkah? Atau karakter serta pemahaman
mahasiswa dalam memahami hidup dan dimensi kampus yang harus dirubah?
Sebagai mahasiswa sudah
seharusnya kita berbenah. Kita dituntut untuk menjadi pribadi yang beriman,
berpengetahuan luas, serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Dengan
ketidak jelasan sistem pendidikan bukan berarti membuat kita semakin
berleha-leha dan apatis. Keadaan yang demikian memang tidak bisa dipisahkan
dari kaum kapitalis dan neolib yang juga merambah kesetiap sudut kehidupan
bahkan pendidikan. Kita harus membenahi orintesasi yang mungkin benar atau juga
mungkin salah, sehingga didapatkan reorientasi yang objektif atau tepat
guna menjawab tantangan jaman, bukan sifat/sikap, nilai dan pandangan hidup
yang terlalu konservatif atau juga terlalu libral. Formalitas memang penting
tetapi bukan satu titik penentu yang terpenting, globalisasi atau modernisasi
bukan dimaknai dari fisik semata melainkan pemikiran yang lebih sistematis,
karena masih banyak aspek lain yang juga belum tersentuh oleh kalangan
mahasiswa dalam dimensi kekinian.
0 komentar:
Posting Komentar